Rabu, 12 November 2025   |   WIB
id | en
Rabu, 12 November 2025   |   WIB
SRGI Perkuat Ketahanan Infrastruktur Nasional

Jakarta, Berita Geospasial - Di tengah pesatnya pembangunan infrastruktur nasional, tantangan pemanfaatan Informasi Geospasial (IG) masih menjadi persoalan krusial. Ketika data geospasial tidak presisi, keputusan teknis di lapangan bisa meleset dan berdampak besar terhadap mutu dan ketahanan infrastruktur, bahkan keselamatan masyarakat. Lalu, bagaimana memastikan infrastruktur dibangun di atas fondasi data yang tepat?


Penyerahan Plakat oleh Direktur Sistem Referensi Geospasial pada Jumat 13 Juni 2025. Dok. BIG/Achmad Faisal

Pertanyaan tersebut menjadi pokok bahasan dalam diskusi teknis antara Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Direktorat Jenderal Bina Marga di Jakarta pada Jumat, 13 Juni 2025. Kolaborasi ini menandai langkah awal pemanfaatan Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI) untuk memperkuat ketahanan infrastruktur nasional.

Direktur Sistem Referensi Geospasial (SRG) BIG Mohammad Fifik Syafiudin menjelaskan, SRGI berfungsi menjaga integritas dan konsistensi data posisi di seluruh wilayah Indonesia. Dalam konteks infrastruktur, SRGI membantu memastikan seluruh tahapan pekerjaan — mulai dari survei awal, desain teknis, konstruksi, hingga pemeliharaan — dilakukan dengan acuan posisi yang sama dan dapat diintegrasikan lintas wilayah serta lintas instansi.

“Tugas kami adalah menyediakan referensi posisi yang dapat diandalkan. Ini menjadi dasar penting bagi pekerjaan teknis seperti yang dijalankan oleh Ditjen Bina Marga,” jelas Fifik.

Dari sisi pengguna, Kasubdit Data dan Pengembangan Sistem Informasi Jalan dan Jembatan Firman Permana Wandani mengakui bahwa Ditjen Bina Marga masih menghadapi sejumlah kendala dalam hal pemantauan dan pengelolaan infrastruktur, terutama terkait resiliensi terhadap bencana dan penurunan tanah (land subsidence).

“Selama ini, informasi terkait potensi longsor atau pergeseran tanah hanya kami dapatkan dari laporan lapangan dan pengamatan visual. Padahal, infrastruktur seperti jembatan panjang dan jalan nasional di wilayah pantura sangat rentan terhadap deformasi tanah,” ujarnya.

Firman menambahkan, rencana pemanfaatan teknologi InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar) sempat muncul beberapa tahun lalu. Namun, hal tersebut tertunda karena biaya data yang tinggi dan keterbatasan pengolahan.

Firman menekankan, bahwa ketersediaan data posisi dan deformasi yang akurat sangat dibutuhkan untuk menentukan prioritas anggaran dan mitigasi dini. “Kami butuh data yang bisa bantu kami mendeteksi pergerakan tanah secara dini, bukan setelah kejadian,” tegasnya.

Menurutnya, infrastruktur yang tangguh tidak cukup hanya dengan struktur fisik yang kuat, tetapi juga harus ditopang dengan sistem informasi yang presisi.

Menanggapi tantangan tersebut, Fifik menjelaskan bahwa IG dapat digunakan untuk mendeteksi pergerakan tanah secara luas dan berkala melalui teknologi satelit seperti InSAR. Data satelit yang kini tersedia secara gratis, seperti Sentinel-1, memungkinkan pemantauan deformasi tanah secara regional tanpa biaya data yang tinggi. Dengan pengolahan yang tepat, data ini bisa mengungkap pola penurunan tanah, pergeseran lereng, hingga indikasi potensi bencana geoteknik lainnya.

“Kami juga sedang siapkan pemantauan deformasi skala nasional berbasis radar satelit, dikombinasikan dengan GNSS untuk meningkatkan akurasi. Informasi ini bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan teknis oleh kementerian atau dinas terkait,” ujar Fifik.

Ia menambahkan, penguatan kerja sama antara BIG dan sektor teknis seperti Bina Marga penting agar informasi geospasial yang disediakan benar-benar bisa menjawab kebutuhan di lapangan.

Diskusi juga membahas pentingnya pemanfaatan data pasang surut (pasut) dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur pesisir, seperti jalan, pelabuhan, jembatan laut, dan tol laut. Bayu Triyogo Widyantoro, surveyor pemetaan BIG, menjelaskan bahwa BIG telah memiliki model pasut nasional yang dapat digunakan. Namun, ia menekankan bahwa pengamatan langsung di lapangan tetap menjadi metode terbaik untuk memperoleh data yang lebih akurat.

“Model pasut kami sifatnya umum dan bisa jadi ada bias. Untuk lokasi penting seperti pelabuhan atau jalan di pesisir, bisa digunakan pengamatan pasut temporer selama 30 hari, kemudian disinkronkan dengan data pasut terdekat,” jelas Bayu.

Data yang dihasilkan stasiun pasut penting untuk menghindari kesalahan perencanaan, terutama di wilayah yang sering mengalami banjir rob. Sebagai contoh, data pasut juga menjadi penentu penting dalam keselamatan survei dan konstruksi di laut.

Dalam beberapa kasus, seperti pembangunan jembatan dan tol di atas laut, pasang naik yang tidak terprediksi bisa mengganggu keselamatan petugas di lapangan. Oleh karena itu, pemanfaatan SRGI menjadi langkah penting untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang lebih aman dan adaptif terhadap dinamika laut.

-----------------

Seluruh data dan layanan terkait SRGI dapat diakses melalui laman resmi: https://srgi.big.go.id.

BIG juga tengah mendorong pemanfaatan informasi geospasial secara lebih luas di berbagai sektor. Jika instansi atau industri Anda membutuhkan penjelasan lebih lanjut terkait penerapan data geospasial, silakan menghubungi kami melalui email: info@big.go.id

Reporter: Achmad Faisal Nurghani / Editor: Kesturi Haryunani