Jakarta, Berita Geospasial — Badan Informasi Geospasial (BIG) menegaskan komitmennya dalam mendukung percepatan pemulihan ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, melalui penyediaan analisis geospasial berbasis Kebijakan Satu Peta (KSP). Dukungan ini disampaikan Kepala BIG Muh Aris Marfai usai rapat lintas kementerian dan lembaga di Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Jumat, 13 Juni 2025.
Kepala BIG, Muh Aris Marfai menghadiri rapat tindak lanjut penguasaaan kembali kawasan hutan pada Jumat, 13 Juni 2025. dok. BIG/Risa Krisadhi
“Kami mendorong reforestasi dan penataan ulang kawasan hutan Tesso Nilo dengan pendekatan berbasis data geospasial yang akurat. BIG sebagai bagian dari Satgas Penataan Kawasan Hutan bertugas menyediakan analisis spasial untuk memperkuat langkah pemulihan secara menyeluruh,” ujarnya.
Aris memaparkan bahwa dari total luas TNTN sebesar 81 ribu hektare, hanya tersisa sekitar 12 ribu hektare hutan primer dan sekunder. Sisanya telah berubah fungsi menjadi kebun sawit seluas 56 ribu hektare serta permukiman, semak belukar, dan lahan kritis. Padahal, TNTN merupakan hutan tropis penting yang menjadi paru-paru dunia dan habitat satwa langka seperti harimau, gajah, dan tapir.
“Pemulihan kawasan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Kita perlu kerja terpadu karena persoalan di TNTN menyentuh banyak aspek, dari tata ruang, kependudukan, hingga konflik sosial-ekonomi,” tegasnya.
Rapat yang dipimpin Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin ini turut dihadiri perwakilan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Pemerintah Provinsi Riau, serta kementerian dan lembaga terkait lainnya.
Dalam rapat, Jaksa Agung mengungkap dugaan praktik korupsi dalam penguasaan lahan TNTN. “Satgas Penertiban Kawasan Hutan menemukan dokumen kependudukan dan kepemilikan tanah palsu, seperti SKT (Surat Keterangan Tanah), KTP (Kartu Tanda Penduduk), hingga SHM (Sertifikat Hak Milik) yang diterbitkan di kawasan hutan,” jelas Burhanuddin.
Ia juga menyampaikan, sebagian besar warga yang tinggal di kawasan TNTN adalah pendatang dari luar daerah. Bahkan, di dalam kawasan hutan telah berdiri sarana publik seperti sekolah, rumah ibadah, dan jaringan listrik.
“Masalah ini kompleks. Kita tidak bisa hanya mengedepankan pendekatan hukum atau lingkungan. Harus ada solusi menyeluruh yang mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi warga yang telah lama bermukim di sana,” tambahnya.
Pemerintah berkomitmen memastikan proses relokasi warga berjalan adil dan minim konflik, sembari mengembalikan fungsi kawasan sebagai hutan konservasi. Analisis geospasial dari BIG menjadi salah satu instrumen kunci dalam menentukan arah kebijakan dan langkah konkret di lapangan.
Reporter: Risa Krisadhi / Editor: Kesturi Haryunani